Pengaruh Agama Dalam Perubahan Sosial
Agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a dan gam. A berarti tidak, dan gam berarti pergi, artinya agama adalah tidak pergi, karena memang agama memiliki sifat yang demikian (tidak pergi, tetap di tempat, turun-temurun). J. G Frazer mengemukakan bahwa agama adalah ketundukan dan penyerahan diri atas kekuatan yang dipercayai dapat mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia. Sedangkan Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem kelakuan dan perhubungan manusia yang berpokok pada hubungan manusia dengan rahasia kekuatan dan kegaiban yang luas disekitarnya sehingga memberi arti pada hidupnya alam dan semesta. Agama sendiri dapat didefinisikan sebagai sistem keyakinan kepada sesuatu yang mutlak dan tidak terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang paling penting dalam agama adalah kekuasaan mutlak dari kekuatan atau zat yang pokok dari segala sesuatu, yaitu Tuhan. Dalam hal ini, agama mengidentikkan pada pemahaman bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam segala hal. Karena itulah agama kemudian menjadi pusat dari pengembalian segala sesuatu tersebut. Dalam pandangan sosiologis, konsep agama terdiri atas berbagai simbol, citra, kepercayaan, serta nilai-nilai spesifik tempat manusia menginterpretasikan eksistensinya.
Menurut Hendropuspito, agama merupakan satu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas pada umumnya. Agama dan perubahan memang merupakan dua hal yang berbeda, tetapi salingmempengaruhi. Kesadaran beragama tidak dapat dipungkiri tidak hanya sebagai aktivitas ritual ketuhanan saja, namun agama juga menjadi rujukan dalam menyelesaikan problem hidup di dunia. Sejarah mencatat bahwa agama menempatkan dirinya sebagai lokomotif perubahan masyarakat seperti yang dianalisa oleh Max Weber tentang agama protestan, Robert Bellah tentang agama Tokugawa, dan Ali Syariati tentang agama Islam.
Fenomena perubahan sosial saat ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Dalam hal ini, menggagas pemikiran tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial bertitik tolak dari pengandaian bahwa perubahan sosial merupakan suatu proses yang sedang berlangsung, yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan besar di luar kontrol manusia, dan tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk dapat menghentikannya. Di sisi lain, disposisi agama pada satu sisi dapat menjadi penentang, sebagaimana tercermin dalam tesis Marx bahwa “agama adalah candu bagi rakyat”. Menurutnya, karena agamalah maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat atau bergerak memperbaiki keadaan tersebut. Secara universal, terdapat dua pandangan mengenai fungsi agama dalam masyarakat. Dua pandangan tersebut lebih spesifik melihat fungsi positif dan fungsi negatif dari agama.
Kelompok yang memandang fungsi positif agama didasarkan pada pandangan kaum fungsionalis. Salah satu pemikir dari fungsionalisme adalah Emile Durkheim yang melihat fungsi agama dalam kaitannya dengan solidaritas sosial masyarakat. Menurut Durkheim, agama memenuhi kebutuhan masyarakat untuk secara berkala memperkuat ide-ide dan perasaan kolektif. Agama mendorong solidaritas sosial dengan mempersatukan orang beriman ke dalam suatu komunitas yang memiliki nilai dan pandangan yang sama. Ritual keagamaan yang dalam prosesnya dilakukan secara bersamaan, akan membentuk ikatan kolektif yang kuat karena rasa saling memiliki di antara seluruh anggota masyarakat. Peran agama dalam kehidupan sosial terkait erat dengan perkembangan pola pikir manusia, sehingga agama juga memainkan peran yang sangat signifikan dalam proses perubahan sosial dalam masyarakat. Secara umum, ada dua pandangan mengenai peran agama dalam proses perubahan sosial, yaitu:
1. Agama sebagai Penghambat Perubahan Sosial Pandangan ini menjelaskan bahwa agama dimaknai sebagai institusi yang menghambat proses perubahan sosial. Dalam posisi ini, agama dimaknai sebagai kekuatan konservatif. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang pesimistis jika agama mampu mendukung proses perubahan sosial. Sebagai kekuatan konservatif, kelompok fungsionalis berargumen bahwa agama memiliki kekuatan untuk menolak perubahan dan cenderung mempertahankan status quo. Mereka menyatakan bahwa masyarakat harus terus berada dalam posisi stabil, terintegrasi, seimbang, dan agama dalam hal ini berfungsi untuk mempertahankan stabilitas sosial, keseimbangan antarunsur dalam masyarakat, solidaritas maupun integrasi sosial. Agama dalam definisi ini menyediakan seperangkat nilai, kepercayaan, norma, serta melindungi individu dari berbagai ancaman yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial.
Agama dalam hal ini juga berfungsi membantumempertahankan eksistensi (kelangsungan hidup) manusia. Karl Marx menganggap bahwa agama memiliki fungsi memlihara status quo atas penguasaan kelas sosial yang berkuasa di atas kelas yang lain dalam masyarakat. Kritik Marx terhadap agama diarahkan pada agama Protestan yang pada menurutnya adalah agama yang sangat sesuai untuk digunakan para penguasa politik karena ide-ide agama ini sangatlah klop dengan kondisi masyarakat kapitalis. Kelompok borjuis dalam masyarakat kapitalis menggunakan doktrin agama untuk tetap terus menguasai dan mengeksploitasi kelas proletar.
2. Agama sebagai Pendorong Perubahan Sosial Agama sebagai pendorong perubahan sosial. Agama sebagai agen pendorong perubahan sosial merujuk pada beberapa pemikiran diantaranya Max Weber dan Robert Bellah. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme Dalam karya Max Weber yang paling terkenal “The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism” menjelaskan bagaimana doktrin agama Protestan- Calvinisme memegang peran kunci dalam perkembangan masyarakat kapitalisme di Eropa. Weber sebenarnya tidak menghubungkan secara langsung antara Protestan dengan struktur-struktur kapitalis. Sebagai gantinya, dia menghubungkan etika Protestan dengan sistem ide dalam semangat kapitalisme. Karyanya tersebut menghubungkan antara kedua ide tersebut.
Oleh karena itu, The Protestan Ethic bukan menjelaskan tentang kemunculan kapitalisme modern, tetapi asal-usul suatu semangat istimewa yang akhirnya membuat kapitalisme rasional modern meluas mendominasi ekonomi. Weber juga mengkomparasikan Protestan dengan agama- agama lain, contohnya Katolik Romawi yang menurutnya gagal untuk memproduksi ide-ide yang mendorong para individu saat memasuki suatu profesi. Semangat kapitalisme dapat dipandang sebagai sebuah sistem normatif yang meliputi sejumlah ide yang saling berhubungan. Contohnya adalah tujuannya tentang menanamkan sikap yang mencari keuntungan secara rasional dan sistematis. Selain itu, Protestanisme mengajarkan pada penghindaran kesenang-senangan hidup.
Selain itu, yang termasuk dalam semangat kapitalisme adalah ide-ide seperti waktu adalah uang, bekerja dengan tekun, tepat waktu, jujur, dan terutama menambah kekayaan tanpa henti menjadi sebuah kewajiaban etis. Beberapa karakteristik lainnya dari ajaran Protestan menurut Weber sangat mendukung perkembangan kapitalisme masyarakat Barat, yaitu melihat kerja sebagai sebuah panggilan hidup.12 Berkerja bukanlah sekeder upaya memenuhi kebutuhan, melainkan bekerja merupakan tugas suci dari agama. Bekerja adalah juga penyucian, sebagai kegiatan agama yang akan menjamin kepastian dan keselamatan. Sedangkan orang yang tidak bekerja adalah orang yang mengingkari ajaran agama dan melarikan diri dari agama. Dalam konstruksi pemikiran teologis semacam ini, maka semangat kapitalisme yang didasarkan pada cita-cita ketekunan, penuh perhitungan, hemat, rasional, dan sanggup menahan diri untuk menemukan pasangannya. Dengan demikian, maka terjalinlah hubungan antara etika Protestan dengan semangat kapitalisme.
0 comments:
Posting Komentar