• Pengaturan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Perjalanan Amandemen UUD 1945 dan Perubahan Pertama UUD 1945 Ketetapan MPR-RI Nomor XIII/MPR/1998

    Pengaturan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Perjalanan Amandemen UUD 1945


    Pembahasan Pemikiran Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden



    Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden merupakan materi muatan dalam Konstitusi dan proses perubahan pengaturannya juga dilakukan melalui mekanisme amandemen Konstitusi, maka dengan ini dapat terlihat keterkaitan antara pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan Konstitusi- Konstitusi pada masa berlakunya aturan tersebut. Sehingga dengan merujuk pada Konstitusi yang berlaku pada masa itu dapat dilihat Konstitusionalitas suatuketentuan, yakni ada atau tidak pengaturan tersebut dalam Konstitusi dan kesesuaian praktik ketatanegaraan dengan pengaturan dalam Konstitusi.



    Pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam perjalanan amandemen UUD NRI 1945 dapat dikatakan menjadi salah satu agenda utama. Proses amandemen UUD 1945 lebih dahulu dilakukan terhadap Pasal 7 UUD 1945.13 Hal ini dikarenakan aturan yang termuat dalam Pasal 7 UUD 1945 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan. Bahkan pada zaman orde baru, seseorang dapat memangku jabatan Presiden sangatlah bergantung kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutya disebut dengan MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan kata lain, masa jabatan Presiden tidak perlu dibatasi asalkan masih dipilih oleh MPR, maka dapat terus menjabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.



    Dengan dicabutnya Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, kewenangan pengubahan UUD 1945 dilakukan sepenuhnya oleh MPR –tanpa harus melibatkan rakyat- sesuai dengan diktum Pasal 37 UUD 1945. Bahkan MPR segera melakukan perubahan terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang semula dinyatakan, bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih Kembali” melalui Ketetapan MPR-RI Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (13 November 1998) dengan menyatakan, bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Pengubahan yang dilakukan melalui Ketetapan MPR justru bertentangan dengan adagium, lex superiori derogat lege inferiori (ketentuan yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan ketentuan yang derajatnya lebih rendah).



    Kesalahan MPR 1997-2002 kemudian dikoreksi oleh MPR -hasil pemilihan umum 1999



    Kesalahan MPR 1997-2002 kemudian dikoreksi oleh MPR -hasil pemilihan umum 1999- dalam Sidang Umum yang diselenggarakan pada tanggal 14 Oktober sampai dengan 21 Oktober 1999 dan menghasilkan Perubahan Pertama UUD 1945 yang mengangkat rumusan Ketetapan MPR-RI Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (13 November 1998) dalam Perubahan Pasal 7 UUD 1945. Pada Perubahan Pertama UUD 1945 dilakukan perubahan secara parsial terhadap limabelas diktum yang diatur dalam UUD 1945 dengan sasaran mengurangi kekuasaan Presiden, pasal-pasal yang terkenai perubahan tersebut, antara lain:



    1. Pasal 5 ayat (1) yang semula dirumuskan sebagai berikut, bahwa: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” diubah dengan rumusan sebagai berikut, bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”;



    2. Pasal 7 bahwa: yang semula dirumuskan sebagai berikut, bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih Kembali”diubah dengan rumusan sebagai berikut, bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”;



    3. Pasal 9 semula diatur dalam satu pasal yang dirumuskan sebagai berikut, bahwa: “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut…” dalam Perubahan Pertama ditambah satu ayat yakni ayat (2), dan diktum lama menjadi ayat (1). Adapun Pasal ayat (2) tersebut dirumuskan sebagai berikut, bahwa: “Jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung,”; sedangkan lafal Sumpah Presiden (Wakil Presiden) serta Janji Presiden (Wakil Presiden) dalam diktum yang lama tidak diubah yang dirumuskan sebagai berikut:



    Sumpah Presiden (Wakil Presiden):


    “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik- baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undangundang dan Peraturannya dengan selurus- lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.



    Janji Presiden (Wakil Presiden):


    “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.



    4. Pasal 13 ayat (2) yang semula dirumuskan sebagai berikut; “Presiden menerima Duta Negara lain” diubah dengan rumusan sebagai berikut; “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”;



    5. Pasal 13 ayat (3) merupakan ayat baru yang ditambahkan dalam Perubahan Pertama UUD 1945 yang dirumuskan sebagai berikut; “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhati-kan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”;



    6. Pasal 14 semula diatur dalam satu pasal yang dirumuskan sebagai berikut; “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.” Dalam Perubahan Pertama ditambah satu ayat yakni ayat (2), sedangkan diktum lama diubah menjadi ayat (1) dengan rumusan sebagai berikut; “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”;



    7. Pasal 14 ayat (2) merupakan penambahan terhadap diktum lama. Adapun ketentuan baru tersebut dirumuskan sebagai berikut; :”Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”;



    8. Pasal 15 yang semula dirumuskan sebagai berikut; “Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan” diubah dengan rumusan sebagai berikut, bahwa: “Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang”;



    9. Pasal 17 ayat (2) yang semula dirumuskan sebagai berikut; “Menteri- menteri diangkat dan diperhentikan oleh Presiden” diubah dalam Perubahan Pertama yang merupakan perbaikan istilah dari diperhentikan menjadi diberhentikan lengkapnya sebagai berikut: “Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”;



    10. Pasal 17 ayat (3) semula dirumuskan sebagai berikut; “Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan” diubah dengan rumusan sebagai berikut, bahwa: “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”;



    11. Pasal 20 ayat (1) yang semula dirumuskan sebagai berikut; “Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” diubah dengan rumusan sebagai berikut, bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membuat undang-undang.”;



    12. Pasal 20 ayat (2) merupakan ayat yang ditambahkan pada Perubahan Pertama terhadap Pasal 20 dengan rumusan sebagai berikut; “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”;



    13. Pasal 20 ayat (3) merupakan ketentuan lama Pasal 20 ayat (2) dengan rumusan sebagai berikut; “jika sesuatu Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”;



    14. Pasal 20 ayat (4) merupakan ayat yang ditambahkan pada Perubahan Pertama terhadap Pasal 20 dengan rumusan sebagai berikut; “Presiden mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”;



    15. Pasal 21 yang semula terdiri dari dua ayat, di antaranya ayat (1) dengan rumusan sebagai berikut; “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang.” Dalam Perubah-an Pertama UUD dijadikan satu pasal dengan rumusan sebagai berikut, bahwa: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-undang”.



  • 0 comments:

    Posting Komentar

    Quotes

    Berbanding tipis antara merdeka untuk ego dan merdeka untuk kebermanfaatan orang lain, silahkan pilih kemerdekaanmu.

    ADDRESS

    Perumnas Gardena Blok A No.112 Firdaus, Kab. Serdang Bedagai

    EMAIL

    hamdanirizkydwi@student.ub.ac.id
    hamdanirizkydwi@gmail.com

    TELEPHONE

    -

    Instagram

    @rizky_dham