• Masa Pemerintahan Orde Baru : Supersemar, Pemberangusan PKI, Sidang Umum MPRS

    Masa Pemerintahan Orde Baru


     Masa Pemerintahan Orde Baru


    Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966-1998, dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat pemindahan kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.



    Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan tahun 1998. Antara pemerintahan Orde Baru dengan Orde Lama tidak jauh berbeda sama- sama menggunakan sistem “Political and Role Sharing dan Partnership (hubungan kemitraan) antara sipil dan militer”. Perbedaannya hanya terletak pada dasar legitimasinya, terbukti bahwa presiden Soeharto memegang kekuasaan Eksekutif sebagai hasil dari pemilihan MPRS dan MPR sejak tahun 1973. Kekuasaan Eksekutif yang kuat dan dominan dalam pemerintahan Indonesia tertulis dalam UUD 1945 pasal 5, berbunyi bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan kata lain Presiden memegang kekuasaan Eksekutif dan Legislatif sekaligus.



    Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)


    Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berusaha untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melalui Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera.Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.



    Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presidendan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet.Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet  Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut Pelnawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966.Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia.Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi.



    Pemberangusan Partai Komunis Indonesia


    Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas- ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura. 



    Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September. Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur. Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.



    Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut:


    a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.


    b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.


    c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.


    d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.


    e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.


    f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.


    g. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.



    Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.



    Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai. Selain kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Pada tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.


  • 0 comments:

    Posting Komentar

    Quotes

    Berbanding tipis antara merdeka untuk ego dan merdeka untuk kebermanfaatan orang lain, silahkan pilih kemerdekaanmu.

    ADDRESS

    Perumnas Gardena Blok A No.112 Firdaus, Kab. Serdang Bedagai

    EMAIL

    hamdanirizkydwi@student.ub.ac.id
    hamdanirizkydwi@gmail.com

    TELEPHONE

    -

    Instagram

    @rizky_dham