• Undang undang : Pengertian, Pengertian Secara Umum, Sejarah dan Asal usul Perundang-undangan

    Undang undang


    Pengertian Peraturan Perundang-undangan 


    Peraturan perundang-undangan  adalah hukum yang sudah mengalami positivisasi atau hukum yang sudah dituliskan (ius scriptum). Pengertian serupa itu sekaligus membedakannya dengan hukum yang tidak dituliskan, seperti hukum kebiasaan atau sebagian hukum adat. Bila istilah ‘perundang-undangan’ atau ‘undang-undang’ disamakan dengan istilah ‘lege’ atau ‘lex’ dan istilah ‘hukum’ disamakan dengan istilah ‘ius’, maka ‘lex’ atau ‘lege’ adalah ius yang sudah mengalami positivisasi. 



    Mengalami positivisasi artinya ditegaskannya hukum sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit. Dengan proses ini, hukum tidak lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral meta-yuridis yang abstrak, namun memiliki wujud konkrit (tertulis dalam bentuk perundang-undangan). Perubahan bentuk ini juga sekaligus usaha untuk memisahkan atau membedakan mana yang terbilang hukum dan mana yang terbilang bukan hukum.



    Maka kalau orang menyebut-nyebut istilah hukum positif, sesungguhnya yang dimaksud adalah hukum perundang-undangan. Dengan demikian, perundang-undangan tidak identik dengan hukum. Perundang-undangan hanyalah salah satu jenis/bentuk hukum, di samping bentuk-bentuk lainnya.   Secara gamblang bisa disimpulkan, bahwa perundang-undangan adalah hukum dalam bentuk yang tertulis, sedangkan kebiasaan, kesusilaan atau bahkan adat, adalah hukum dalam bentuk yang tidak tertulis. Jadi dari segi peristilahan, kata ‘lege/lex/wet’ lebih tepat dipadankan dengan kata ‘perundang-undangan’ atau ‘undang-undang’. Sedangkan kata ‘ius/recht/droit’ lebih tepat dipadankan dengan kata ‘hukum’.  



    Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.



    Adapun pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.


    Undang undang


    Pengertian Umum Perihal Peraturan Perundang-undangan


    Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menjelaskan beberapa pengertian:


    1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan;


    2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;


    3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden;


    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa;


    5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya;


    6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan;


    7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur;


    8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota;


    9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis;


    10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis;


    11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat;


    12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lemabaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;


    13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan;


    14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


    15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


    16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


    Undang undang


    Sejarah dan Asal Usul Peraturan Perundang-undangan


    Sebagai sebuah bentuk/jenis hukum, peraturan perundang-undangan sebenarnya bukanlah khas produk budaya hukum Indonesia. Bila demikian, dimanakah tempat asal kelahiran perundang-undangan?



    Perundang-undangan lahir dan dikembangkan pada masa Eropa abad pertengahan. Ia merupakan produk sah dalam bidang hukum, dari sejarah pergolakan atau transformasi sosial masyarakat Eropa. Negara yang menjadi tempat utama kelahirannya adalah Prancis.



    Penyebutan Eropa Abad Pertengahan sebagai locus dan tempus lahirnya tradisi perundang-undangan sepintas memang terlihat salah. Sebab bila perundang-undangan hanya dipahami dari segi bentuk maka sesungguhnya tradisi perundang-undangan sudah dimulai semenjak Kerajaan Babilonia sampai imperium Romawi. Ingat misalnya Kitab Hammurabi dan Corpus Juris Civilis, dua contoh bentuk (kodifikasi) perundang-undangan. Namun bila perundang-undangan difahami dari perspektif filosofis, historis dan sosiologis maka kemunculannya memang baru pada abad pertengahan di Eropa. 



    Dalam kurun waktu tersebut Prancis mengalami proses revolusi sosial yang mendalam. Revolusi tersebut telah mendorong upaya-upaya yang radikal untuk menata kembali formulasi hubungan negara dengan rakyat. Pengalaman menyakitkan selama pemerintahan feodal yang despotik dan korup, serta ditambah dengan kungkungan ajaran-ajaran gereja, menyemangati rakyat untuk mendesakkan perubahan mendasar terhadap bentuk sistem politik.



    Kelompok utama yang memelopori gerakan penataan radikal ini adalah para warga yang tinggal di kota-kota, yang berusaha menghindarkan diri dari ikatan hukum kerajaan dan gereja. Warga kota tersebut (borjua, berge) terdiri dari kaum pedagang yang secara ekonomi tidak tergantung dengan sistem ekonomi yang dibangun oleh kerajaan dengan cara membangun ekonomi manufaktur. Independensi ekonomi inilah yang mendorong kaum tersebut untuk menjadi kelompok yang bebas (freeman) dari ikatan/keharusan (imperativa) hukum kerajaan dan gereja. Kelompok ini mendapat dukungan yang memadai dari masyarakat lapis bawah Prancis. Dukungan tersebut tidak terlepas dari protes masyarakat lapis bawah terhadap kerajaan dan gereja yang membebani mereka secara berlebihan dengan pajak dan pungutan-pungutan lainnya.



    Dalam bidang sistem politik atau ketatanegaraan, rakyat mendesak agar negara mengatur sistem pemisahan kekuasaan yang kemudian mendapat konsepsionalisasi sebagai Trias Politica oleh Montesqieu. Dalam konsep ini, cabang kekuasaan dibagi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Proses menata hubungan negara dengan rakyat tidak hanya sampai disitu, khusus untuk cabang kekuasaan eksekutif masih dilakukan lagi upaya lanjutan.



    Upaya lanjutan tersebut dilakukan untuk menjamin agar penyelenggaraan cabang kekuasaan yang satu ini tidak melahirkan pelanggaran terhadap hak-hak warga. Ini dilakukan karena yang paling potensial melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warga negara adalah cabang kekuasaan eksekutif, mengingat bentuk kekuasaan yang dimilikinya. Sedemikian besar potensi tersebut sehingga dua cabang kekuasaan yang lain dihadirkan khusus dalam rangka mengontrol kekuasaan eksekutif.



    Upaya lanjutan yang dimaksud adalah keharusan kekuasaan eksekutif untuk selalu melakukan kesepakatan dengan rakyat bila hendak membuat satu kebijakan tertentu yang memiliki dampak pada publik. Wujud konkrit kebijakan yang dimaksud di sini adalah perundang-undangan. Dalam membuat kebijakan tersebut pemerintah diwajibkan meminta kata sepakat dari rakyat. Dengan demikian, nantinya fungsi dasar Perundang-undangan tersebut akan menjadi kontrak atau perikatan antara penyelenggara kekuasaan eksekutif dengan rakyat. Sebagai sebuah perikatan, masingmasing pihak dikenai serangkaian hak dan beban kewajiban.



    Dari segi substansi, keharusan mendapatkan kesepakatan dari rakyat diharapkan mampu memagari perundang-undangan agar tidak berkarakter represif, melainkan lebih berkarakter responsif. Selain itu, substansinya lebih menunjukkan perimbangan antara hak dan kewajiban. baik yang dipunyai negara maupun rakyat.



    Dari segi proses, rakyat selalu ditanyai dan didengarkan sebelum akhirnya menyatakan kesepakatannya dengan perundang-undangan tersebut. Selama ia belum mendapatkan kata sepakat dari rakyat, selamanya ia akan tetap menjadi hanya sebatas naskah atau draft (legal draft).



    Peraturan perundang-undangan dipilih dan dibuat untuk melakukan kontrol kekuasaan eksekutif, karena ia memiliki kemampuan atau sifat untuk membuat hubungan negara dengan rakyat menjadi pasti dan terukur. Bentuknya yang tertulis menjadikan hubungan tersebut terhindar dari segala bentuk penafsiran yang sifatnya subyektif.



    Lahirnya perundang-undangan sebagai upaya lanjutan


    Lahirnya perundang-undangan sebagai upaya lanjutan untuk mengontrol kekuasaan eksekutif, beserta sifat dan kemampuan yang dimilikinya, sebenarnya tidak lepas dari falsafah dan faham politik yang pada masa itu diperkenalkan oleh kaum kelas menengah Prancis. Dari segi konsepsi, mereka dibantu oleh sederetan kalangan pemikir-pemikir naturalis dan liberal yang dengan gencar memperkenalkan faham rasionalisme, individualisme dan liberalisme. Dalam bidang pemikiran hukum, mereka ditolong oleh paham positivisme dan legisme. 



    Legisme adalah sebuah faham yang meyakini bahwa negara adalah satu-satunya sumber hukum. Itu sebabnya, yang dipercayai sebagai hukum hanyalah Perundang-undangan dengan bentuk yang tertulis, sedangkan hukum yang tidak tertulis dan yang tidak berasal atau yang tidak dikeluarkan oleh negara bukan hukum. Hukum yang tidak tertulis hanya dianggap sebagai sebatas norma moral.Sebenarnya, dalam beberapa segi, apa yang berkembang di Prancis dengan perundang-undangan berilham dari praktek penyelenggaraan kenegaraan kerajaan Babilonia dan Romawi. Kedua imperium ini sudah pernah mengembangkan kodifikasi terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan oleh kerajaan. Prancis adalah negara pertama yang meneruskan dan mengembangkan lebih lanjut tradisi ini dan kemudian banyak menular ke negaranegara Eropa lainnya, bahkan ke negara-negara dunia ketiga pasca kemerdekaan. Di Amerika Serikat tradisi ini hanya dimunculkan pada level konstitusi, tidak sampai pada level perundang-undangan di bawah konstitusi.



    Dengan demikian bahwa tradisi peraturan perundang-undangan dimulai dengan tuntutan kelompok kelas menegah yang didukung oleh mayoritas rakyat lapisan bawah, untuk membuat kontrol lanjutan terhadap kekuasaan eksekutif. Latar belakangnya, bukan hanya karena berkembangnya faham rasionalisme, individualisme ataupun liberalisme, tapi lebih karena untuk mamastikan berlangsungnya keamanan dan kepastian terhadap aktivitas ekonomi kelas menengah dari kemungkinan bangkitnya praktek penyelenggaraan pemerintah yang tidak demokratis. Untuk itu kemunculan tradisi perundang-undangan identik dengan bangkitnya kelas menengah dalam struktur sosial masyarakat Prancis ketika itu.



    Pada bagian di atas, selintas telah disinggung kandungan sosiologis, historis dan filosofis yang dimiliki oleh peraturan perundang-undangan. Di balik bentuknya yang tertulis, peraturan perundang-undangan menyimpan fungsi fundamental, sekaligus memiliki makna filosofis. Sesuai dengan sejarah asal-usulnya, peraturan perundang-undangan memiliki semangat untuk menata ulang hubungan negara dengan rakyat guna menghindarkan kekuasaan eksekutif bertindak semena-mena terhadap warga negara.



    Untuk kepentingan itu, diciptakanlah perundang-undangan yang memungkinkan pemerintah dan rakyat membuat kesepakatan mengenai hal tertentu yang hendak diatur dengan sebuah perundang-undangan. Keharusan adanya kesepakatan ini memungkinkan, dari segi substansi dan proses pembuatan, perundang-undangan jauh dari sifat represif terhadap hak-hak dasar warga negara. Melalui proses yang demikian perundang-undangan akan merupakan kontrak publik yang mengikat, baik pemerintah maupun rakyat. Layaknya sebuah kontrak atau perikatan, posisi kedua belah pihak adalah sejajar. Kesejajaran ini terlibat dalam proses yang dikembangkan dan dalam substansi. Kesejajaran ini pula yang menyebabkan porsi hak dan kewajiban yang dimiliki dan ditanggung kedua belah pihak bersifat seimbang.



    Dari sisi rakyat, perundang-undangan akan menjadi alat yang efektif untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan kekuasaan eksekutif. Dengan itu pula rakyat memiliki kejelasan tentang batasan kewenangan yang dipunyai oleh pemerintah, sekaligus mengetahui perbuatan apa saja yang diperbolehkan dan dilarang oleh perundang-undangan. Layaknya sebuah perikatan, apabila pemerintah melakukan pengingkaran dengan melanggar hak-hak warga negara, maka rakyat berhak melayangkan tuntutan dan gugatan kepada pemerintah. Bila pemerintah juga tidak mau tunduk dengan tuntutan dan gugatan tersebut maka langkah terjauh yang bisa dilakukan rakyat adalah menolak keberlakuan perundang-undangan tersebut dengan menganggapnya bukanlah lagi sebagai kontrak atau perikatan yang dengan demikian sah untuk ditolak dan ditentang.



    Bila proses kelahiran dan makna yuridis-filosofis perundang-undangan difahami seperti yang pernah terjadi di Eropa abad pertengahan, sebenarnya agak sulit menemukan jejak yang serupa itu di Indonesia. Karena sejarah perundanganundangan di Indonesia lebih diwarnai oleh kisah penginstrumentalisasiannya untuk mendukung sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Tradisi semacam ini sudah mulai dikembangkan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Bahkan dalam beberapa hal, sudah dirintis pada periode kongsi dagang VOC.



    Pada periode VOC, dalam wilayah yang terbatas, sudah dikeluarkan sejumlah peraturan-peraturan (plakat) yang sifatnya sudah mengikat publik bagi yang berdomisili di sekitar wilayah terbatas tersebut. Seiring dengan keberhasilan meluaskan wilayah jajahan, tradisi ini kemudian diperluas dan diperkuat oleh pemerintahan Hindia Belanda. Perluasan dan penguatan ini paralel dengan semakin pastinya proses pembentukan sebuah pemerintahan jajahan di Nusantara.



    Pemerintahan Hindia Belanda lebih menjadikan perundang-undangan sebagai instrumen untuk melakukan pengaturan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Tradisi hukum Prancis yang direplikasi oleh Belanda, kemudian diperkenalkan di Indonesia dengan lebih mengedepankan metode pencangkokan atau transplantasi. Dengan demikian, pengenalan tradisi perundang-undangan di nusantara tidak terjadi seperti layaknya di Eropa abad pertengahan. la bukan produk asli dari dinamika sosial politik masyarakat Indonesia. Boleh dibilang, ia bukan tradisi yang menyejarah,namun lebih sebagai hal baru yang dicangkokkan ke dalam sejarah hukum Indonesia. 



    Kelahiran tradisi perundang-undangan bukanlah hasil tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan publik yang ada dalam masyarakat Indonesia. Ia bukanlah hasil desakan rakyat terhadap negara ataupun hasil desakan kelompok masyarakat yang dirugikan terhadap kelompok masyarakat yang diuntungkan. Ketika itu, memang tidak tumbuh sebuah kekuatan non negara (pemerintahan kolonial) yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan. Situasi ini dilanjutkan pasca kemerdekaan hingga periode Orde Baru. Bahkan, penyosokan perundang-undangan sebagai instrumen ideologi dan politik, semakin diperkuat. 



    Perundang-undangan bukan lagi alat yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat untuk mengontrol kekuasaan eksekutif, namun sudah berbalik menjadi senjata untuk mengontrol tindak-tanduk rakyat. Perundang-undangan tidak lagi berfungsi sebagai ajang bagi rakyat dan pemerintah untuk membangun kesepakatan lewat kontrak atau perikatan. la telah dirubah menjadi alat untuk mengikat rakyat dengan sejumlah keharusan atau kewajiban yang sebenarnya tidak diinginkan oleh mereka.


  • 0 comments:

    Posting Komentar

    Quotes

    Berbanding tipis antara merdeka untuk ego dan merdeka untuk kebermanfaatan orang lain, silahkan pilih kemerdekaanmu.

    ADDRESS

    Perumnas Gardena Blok A No.112 Firdaus, Kab. Serdang Bedagai

    EMAIL

    hamdanirizkydwi@student.ub.ac.id
    hamdanirizkydwi@gmail.com

    TELEPHONE

    -

    Instagram

    @rizky_dham